Oleh: Sri Wiyono
rpstuban.net – ‘’Anehnya Yah, anak teman saya ini justru kalah dengan pendaftar lain dari Semanding. Yang jaraknya dari sekolah lebih jauh,’’ ujar istriku.
Istri saya bercerita tentang anak temannya yang tak masuk ke SMPN 3 Tuban. Saya mencoba menjelaskan tata cara dan sistem zonasi dalam PPDB. Keyakinan saya, panitia PPDB tidak akan berani main-main. Sebab, semua sistem sudah online dan bisa dipantau.
‘’Silakan mengadu resmi. Kalau benar-benar dicurangi, saya jamin anaknya akan tetap masuk. Biar saya sendiri nanti yang mengantar,’’ saya meyakinkan.
Banyak pesan masuk di WA saya. Rata-rata mereka mempersoalkan sistem zonasi dalam PPDB. Ada yang mengadu, ada juga keluh kesah.
Beberapakali saya terlibat diskusi, bahkan debat. Baik langsung maupun melalui grup-grup dunia maya. Intinya; kebijakan zonasi mengundang pro dan kontra. Setuju dan tidak setuju.
Bisa dicek, yang tidak setuju zonasi itu adalah orang tua yang anaknya gagal masuk sekolah yang diinginkan. Jadi, protes zonasi itu berdasar keinginan-keinginan dan kepentingan pribadi.
Orang berlomba untuk masuk ke sekolah favorit. Menurut saya, sekolah favorit atau sekolah unggulan itu hanya persepsi masyarakat. Konsep sekolah ini sudah menciptakan diskriminasi yang luar biasa.
Nah, sistem zonasi memungkinkan seluruh siswa bisa masuki ke sekolah yang dipersepsikan favorit itu. Saya suka dengan kata persepsi, karena menurut saya, sekolah unggulan memang ‘dicetak’ seperti itu.
Dalam hal rekrutmen siswa berbeda. Sekolah favorit bisa menggelar tes lebih dulu. Maka tak heran sekolah favorit itu bisa mendapat ‘bibit unggul’.
Zonasi akan menjadi pembuktikan kualitas kepala sekolah dan guru. Jika di sekolah favorit bisa mencetak prestasi yang bagus. Coba buktikan ketika siswa yang diterima heterogen. Ada yang pintar, biasa-biasa saja bahkan mungkin lemah.
Sekolah favorit itu gengsinya luar biasa. Klop dengan sebagian masyarakat kita yang suka ngejar gengsi. Sehingga berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah favorit, bagaimanapun caranya. Bahkan terkadang menabrak rambu-rambu, menyiasati aturan sampai berbuat culas.
Sistem zonasi memungkinkan semua lapisan masyarakat bisa merasakan sekolah di sekolah yang berada di ‘menara gading’ tersebut. Maka proteslah orangtua yang anaknya tak bisa masuk ke sekolah yang diinginkan karena terbentur zonasi. Mau masuk jalur prestasi, prestasi tak nutut. Lalu menyalahkan kebijakan pemerintah.
Sebagian masyarakat masih kagetan. Lalu protes dan menolak kebijakan itu karena tak sesuai keinginan dan kepentingannya.
Yakinlah, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pasti sudah melalui penelitian, kajian-kajian mendalam, diskusi yang panjang, pembahasan berkali-kali serta dihitung manfaat dan madaratnya.
Tapi mbok yao jangan selalu berprasangka buruk pada pemerintah. Mana ada pemerintah yang bercita-cita menyengsarakan rakyatnya dan menghancurkan negerinya sendiri.
Bahwa masih ada kelemahan dalam sistem zonasi iya. Presiden Jokowi pun menyatakan harus ada revisi, karena belum bisa diterapkan di semua daerah, dengan berbagai alasan.
Tapi, bukan berarti harus dibatalkan. Ibarat mobil, dengan berjalan bisa diketahui kekurangannya. Misalnya remnya kurang paten,lampunya ada yang mati. Kaki-kakinya ada masalah dan sebagainya dan sebagainya.
Maka kekurangan itu bisa dibenahi satu persatu. Kebijakan sudah diterapkan. Pemerintah sudah menjalankan dan masyarakat harus menerima.
Dijalani saja dulu, dilihat manfaatnya, dan menunggu perbaikan atas kekurangan. Tinggalkan dulu ego dan gengsi untuk sementara.
Yang kebagian sekolah ‘pinggiran’ itu diterima saja. Yang orang tuanya mampu ya bantulah sekolah agar bisa lebih bagus, lebih maju, lebih keren dan menjadi favorit seperti yang diinginkan.(*)